Sebelum saya memulai review film ini, saya ingin berterima kasih terlebih dahulu ke ulasinema (instagram & twitter ulasinema) karena sudah berbaik hati mengadakan giveaway tiket dan nonton bareng Love for Sale 2. Kalau kata Fredrick Zoller ke Shosanna di film Inglourious Basterds nya Quentin Tarantino, “It's been a pleasure chatting with a fellow cinema lover”.
Apa kesan yang paling mengena di hati kalian saat menonton Love for Sale 1? Kalau saya, “Ini Arini beneran ada atau nggak, sih? Atau cuma khayalan Pak Richard doang?”. Dan satu dari banyak pertanyaan itu terjawab saat Love for Sale 2 mengumumkan promo filmnya, ternyata Arini memang ada, Arini kembali di sekuel dari film pertamanya, lagi-lagi ada satu laki-laki yang mencoba aplikasi Love Inc dan didatangkan sosoknya.
Kalau di Love for Sale 1 kita hanya difokuskan pada cerita Pak Richard sendiri saja, di Love for Sale 2 kita disajikan berbagai cerita dari satu keluarga yang tinggal di daerah Jatinegara. Di awal film jujur saya kaget banget, tapi kagetnya kaget seneng. Kenapa? Karena langsung disuguhkan scene Pak Richard lagi nunggu kereta di stasiun, dan tidak lama muncul Arini, walaupun mereka tidak bertemu.
Ingatan-ingatan scene di dalam film Love for Sale 1 otomatis keluar begitu saja. Ini adalah opening yang hebat menurut saya, karena membuat yang sudah nonton film pertamanya jadi penasaran: “lah kok ada Pak Richard lagi?”, jadi berasa nonton film Marvel hehe.
Setelah opening tersebut, kita diberikan cerita ada satu keluarga orang padang di mana sosok Ibu dari keluarga tersebut sedang menanti-nanti calon menantu untuk anak ke duanya, Ican (Indra Tauhid Sikumbang).
Dari sudut pandang saya, Ican belum kepikiran untuk menikah, dia masih mau fokus bekerja dan dia tidak terlalu memusingkan hal-hal percintaan. Namun karena Ibunya bahkan saudara dan tetangganya makin menekan Ican dengan alasan “bahagiakan Ibumu, can”, dia mulai pusing dan jadi bingung bagaimana cara mendapatkan yang bisa sesuai dengan keinginan Ibunya.

Di suatu halte, Ican melihat iklan Love Inc dan mencoba “memesan” calon pacar yang nantinya akan dikenalkan ke si Ibu dan tentunya dengan kriteria yang detail (seingat saya yang paling ditekankan Ican itu “harus padang banget”). Tidak lama setelah memesan, sosok Arini langsung muncul di depan pintu rumah keluarga tersebut.
Dia menyamar menjadi Arini teman Ican di Bandung sedang mencari tempat penginapan karena ada training kerja di Jakarta. Melihat Arini yang “padang banget”, Ibu langsung merasa senang. Seperti ada harapan Ican bisa berjodoh dengan Arini.


Hari-hari Ibu jadi lebih berbunga-bunga, karena Arini sering membantu Ibu masak, belanja di pasar, atau sekedar menanyakan kondisi. Melihat Ibunya bahagia, Ican jadi mulai mempunyai rasa kepada Arini, dia sangat berterima kasih karena Arini sudah membuat Ibunya tidak bersedih lagi.
Dari yang saya lihat saat adegan-adegan di mana Ican dekat dengan Arini bahkan sudah sampai tahap physical touch, ada rasa insecure di sana. Ican mulai mempertanyakan apakah kalau waktu “sewa” nya sudah habis, Arini akan tetap bersama dia dan Ibunya? Apakah Arini juga sayang dengan dia?



Kata-kata Arini yang sangat nempel di hati saya saat Ican menanyakan kenapa dia bekerja seperti sekarang ini adalah “saya suka melihat orang lain bahagia”. Terjawab sudah pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat menonton Love for Sale 1, kita jadi tahu alasan Arini beraksi seperti itu saat di film pertama. Jadi, Arini akan “menyelesaikan tugas” nya sebaik mungkin dan setelah tugasnya selesai, dia sudah tidak punya tanggung jawab apa-apa lagi.

Tapi, lagi-lagi kita akan dibuat penasaran saat melihat ending dari Love for Sale 2. Saya pribadi dibikin bertanya-tanya lagi setelah selesai nonton “apa alasan dia seperti ‘itu’ di ending scene? bakalan ada film selanjutnya lagi gak nih?”. Dan kalau memang ada, saya pasti sangat menanti-nantikan itu.

Jadi, Arini, kamu kembali, menetap atau akan pergi lagi?
Xoxo,
G ♥
Post a Comment